SDM Unicorn Start-up di Era Revolusi Industri 4.0, Gema: Be Agile

Bukalapak

 

Kuliah umum softskills bagi mahasiswa kembali dihadirkan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pada Jumat (15/2) lalu. Berlokasi di Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM lantai 8, pembicara yang didatangkan kali ini berasal dari salah satu perusahaan start-up unicorn di Indonesia, Bukalapak. Vice President of Talent Bukalapak, Gema Buana Putra, hadir dengan membawakan topik sumber daya manusia (SDM) yang dikaitkan dengan era industri 4.0 saat ini dengan tajuk “Being an Agile HR (Human Resource) in Order to Achieve Unicorn Start Up“.

Pada kuliah umum kali ini, pembahasan dipandu langsung oleh salah satu dosen FEB UGM, Bita Puspitasari, SE., M.Econ. Pada awal pemaparan materi, Gema membuka dengan penjelasan singkat mengenai bagaimana perkembangan revolusi industri terjadi di dunia. Dari revolusi industri 1.0 hingga 4.0 yang terjadi saat ini, pada dasarnya perubahan adalah pasti. “Setiap zaman, (bagian, red) yang berbeda adalah tantangannya; dan ada manusia yang menembus tantangannya. Break the code,” ujar Gema. Ia menganggap bahwa setiap ada perubahan yang terjadi, pasti di sana ada manusia yang selalu mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada.

Setelah menjelaskan sedikit mengenai industrial revolution 4.0, Gema memulai membahas lebih menjurus mengenai bidang yang ia geluti yaitu human resource (HR). Baginya, dunia HR saat ini telah memasuki masa-masa yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karena itu, manajemen modal insani diupayakan untuk dapat menghadapi tantangan ini. “Agile human capital. Saat ini kita sudah memasuki VUCA area. Volatility (mudah berubah-ubah), uncertainty (tidak pasti), complexity (hubungan yang kompleks), dan ambiguity (ambiguitas). HCM (human capital management) harus menyesuaikan supaya compete,” ungkapnya pada sekitar 200-an peserta yang hadir.

Pada era seperti sekarang ini pun, dengan hadirnya teknologi-teknologi mutakhir seperti big data dan internet of things , orang-orang pada generasi sekarang ia harapkan tidak gentar dan takut. Dia menyampaikan bahwa justru manusialah yang tetap akan menguasainya. “Meskipun dengan serangan robot dan teknologi, ada bagian yang tidak bisa digantikan oleh robot. Apa yang enggak bisa digantikan? Kemanusiaan,” jelas bapak dua anak ini. Ia menyampaikan bahwa anugrah alamiah manusia seperti intuisi, kreativitas, dan judgement yang tidak mampu dilakukan oleh robot.

Namun, ia menyebut tantangan dalam era seperti sekarang pun berubah. Ia mengungkapkan terdapat empat tantangan besar yang dihadapi: speed, messiness, changes, dan flexibility. “Pasarnya semua cepat. Dulu 2-3 hari jadi, sekarang cuma 2-3 jam. Kadang kita enggak punya waktu menjadikannya teratur, kalau berpikir kita itu serial. Makanya kita jadi terdorong. Benar kata Pak Dekan tadi, satu-satunya yang tidak berubah itu perubahan. Bukan masalah kemasannya, tapi tentang apa yag kita hasilkan,” paparnya mengenai tantangan industri saat ini. Untuk menjadi HR yang agile, Gema membebarkan enam kunci yang seharusnya dilakukan para pemangku jabatan terutama di bidang SDM. Enam kunci tersebut, yaitu autonomous, trust, safe to fail, simple, learning, dan business oriented. “HR bagus, tapi bisnis memble berarti ada missing link. Mending (HR, red) enggak dapet apa-apa, tapi bisnisnya maju,” ungkapnya.

Setelah pemaparan menarik selama 45 menit berlalu, sesi dilanjutkan tanya jawab oleh para peserta. Peserta tampak sangat aktif untuk bertanya kepada pembicara dengan memberikan pertanyaan-pertannyaan seputar dunia HR di era revolusi industri 4.0. Kuliah umum pun diakhiri dengan kesimpulan yang disampaikan oleh moderator. “Banyak yang anda dengar (mengenai revolusi industri, red) kemudian itu menjadi menakutkan. Anda akan digantikan dengan artificial intelligence dan sebagainya. Padahal, yang sebetulnya, untuk dapat bertahan, the best for you is to be you,” pungkas Bita sembari mengakhiri pertemuan pada siang hari itu.

Sumber: Moh. Andhika

Bonus Demografi: Kesempatan atau Ancaman?

IMF

Data Sensus Penduduk tahun 2018 menunjukkan bahwa populasi penduduk berusia produktif (15-64 tahun) yaitu mencapai angka 179,13 juta jiwa atau sekitar 67,6% dari total seluruh penduduk Indonesia. Besarnya angka tersebut menyebabkan Indonesia digadang-gadang akan segera memasuki fase baru yang dikenal dengan bonus demografi. Bonus demografi ialah keadaan dimana penduduk berusia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk yang berusia non-produktif. Di Indonesia sendiri, puncak bonus demografi diprediksi akan terjadi pada 2030 mendatang. Bonus demografi dikatakan sebagai sebuah bonus manakala generasi muda mampu mendapatkan pendidikan dan fasilitas yang layak guna meningkatkan kualitas dirinya. Maka dari itu, saat ini Indonesia berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dengan harapan akan dapat mencetak calon-calon pemimpin di masa depan supaya nantinya bonus demografi tersebut betul-betul akan menjadi sebuah bonus alih-alih sebuah kutukan. Fenomena ini yang kemudian diangkat dan didiskusikan dalam Forum Diskusi yang mengusung tema “Work in Progress: Improving Youth Labor Market Outcomes in Emerging Market and Developing Economies” pada Jumat (1/3).

Acara yang digelar di Auditorium Gedung Pembelajaran Lantai 8 ini merupakan sebuah Forum Diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) ini turut menggandeng lembaga-lembaga kenamaan, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Forum Diskusi tersebut diisi oleh para ekonom ternama, yakni John C. Bluedorn, Ph. D. selaku perwakilan dari IMF, Gumilang Aryo Sahadewo, S.E., M.A., Ph.D. selaku dosen FEB UGM, serta Dr. Ninasapti Triaswati, S.E., M.Sc. selaku perwakilan dari ISEI. Acara yang berlangsung sejak pagi hari itu dipandu oleh moderator Jesita Wida Ajani sebagai Mahasiswa Berprestasi FEB UGM 2018.

Acara dibuka dengan pemaparan yang disampaikan oleh John C. Bluedorn. Menurutnya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan peran generasi muda. Sepertiga dari total pekerja usia produktif diisi oleh anak muda usia 15-24 tahun, bahkan diprediksi bahwa generasi muda di negara berkembang mampu menaikkan output riil hingga 5%. Akan tetapi, saat ini generasi muda tengah dihadapkan pada persoalan mengenai tingkat ketidakaktifan kaum muda yang cukup tinggi. Pasalnya, 20% generasi muda saat ini sedang tidak bekerja, tidak sekolah, serta tidak mengambil pelatihan khusus.

Pembahasan mengenai tenaga kerja muda tersebut kemudian diulas lebih lanjut oleh Gumilang. Menurutnya, pengangguran dari kalangan generasi muda disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidakcocokan keterampilan, lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, serta rendahnya permintaan akan pelatihan keterampilan. Data dari International Labor Organization (ILO) menyebutkan bahwa setidaknya 60% pekerja di Indonesia bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan pendidikannya. Bahkan belum semua masyarakat Indonesia mendapatkan akses pendidikan, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut yang menyebabkan pasar tenaga kerja di Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lainnya.

Permasalahan di sektor tenaga kerja tak cukup sampai di situ. Nina memaparkan bahwa kemunculan berbagai start up digital sebagai buah karya Revolusi Industri 4.0 turut menjadi ancaman bagi pasar tenaga kerja. Di satu sisi, start up digital ini mempermudah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari kemudahan memperoleh informasi secara lengkap dan cepat hingga membeli barang secara daring. Di sisi lain, kemajuan teknologi tersebut menyebabkan terjadinya gap pada pasar tenaga kerja, terutama apabila suatu negara kurang didukung dengan infrastruktur yang baik. Oleh sebab itu, diperlukan intervensi dari pemerintah agar perubahan paradigma dari labor intensive menjadi capital intensive ini tak lantas menyebabkan peningkatan angka pengangguran di Indonesia.

Sumber: Febyolla Putri Aninditya